Senin, 28 Juni 2021

Pengertian Ruang dan Waktu dalam Sejarah

Pengertian Ruang dan Waktu dalam Sejarah

Pengertian Ruang dan Waktu dalam Sejarah - Ruang dan waktu adalah komponen penting di dalam sejarah. Suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu apabila tidak memiliki salah satu komponen ini maka tidaklah dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa sejarah. Oleh karena itu perlu diketahui pengertian ruang dan waktu dalam sejarah.

Pengertian waktu dalam sejarah artinya latar waktu, yakni kapan terjadinya suatu peristiwa tersebut (time), bisa hari, tanggal, tahun dan jam. Konsep ruang dan waktu merupakan bagian (unsur) penting dalam menganalisa suatu peristiwa sejarah.


Sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa sejarah dan benar-benar terjadi apabila terdapat latar tempat terjadinya peristiwa dan waktu terjadinya peristiwa itu sendiri. Perlu kiranya untuk dipahami bahwa tidak ada peristiwa sejarah yang terjadi tanpa adanya dimensi ruang maupun dimensi waktu terlebih lagi apabila tidak ada keduanya.

Minggu, 20 Juni 2021

Konsep Berpikir Sinkronik dan Diakronik

Konsep Berpikir Sinkronik dan Diakronik


Konsep Berpikir Sinkronik dan Diakronik – Konsep Berpikir Sinkronik dan Diakronik adalah konsep berpikir sejarah yang memiliki dua pengertian berbeda. Di bawah ini akan dijelaskan tentang konsep berpikir sinkronik dan diakronik.

Konsep berpikir diakronik artinya memanjang dalam waktu tetapi terbatas dalam ruang. Sedangkan konsep Sinkronik artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu.

Konsep diakronik: adalah orang yang berpikir sesuai kronologis dalam menganalisis sesuatu, artinya orang orang tersebut sangat berpikir ururtan.

Konsep sinkronik: adalah orang yang berpikir meluas dalam ruang. orang yang memikirkan sesuatu secara luas.

Kemampuan berpikr diakronik dan sinkronik mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian berpikir diakronis adalah kemampuan memahami peristiwa dengan melakukan penelusuran pada masa lalu. Sebagai contoh memahami Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan menelusuri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-17. Oleh karena itu cara berpikir diakronis sangat mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa.

Sementara berpikir sinkronik memahami peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya. Cara berpikir sinkronik memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai aspek, seperti aspek social, ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh karena itu cara berpikir sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap peristiwa.

Berpikir diakronis merupakan cara berpikir yang khas sejarah, sementara berpikir sinkronik merupakan cara berpikir yang khas ilmu-ilmu social. Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir sejarah itu bersifat diakronik, memanjang dalam waktu, serta memetingkan proses terjadinya sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir ilmu-ilmu sosial itu bersifat sinkronik, melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu peristiwa.

Cara berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu sosial. Pengaruh itu dapat digolongan ke dalam empat macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.

Konsep

Bahasa latin conceptus yang berarti gagasan atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam disertasinya  tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik lokal untuk menerangkan konflik antargologan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu social lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis yang terdapat dalam masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau martabat.

Teori
               
Bahasa Yunani theoria berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah. Ia menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari ilmu social. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat, yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar. Dalam kasus perang Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda (ketegangan structural), dan keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat Aceh bahwa musuh mereka adalah golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan muslim itulah yang menghasilkan ideology perang sabil.

Permasalahan
               
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Soal seperti mobilitas social, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan sebagainya.  Sebagai contoh adalah karya sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan kolonial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.